Minggu, 09 Januari 2011

Indahnya Berbagi Kebahagiaan

Setiap manusia pada hakekatnya dilahirkan dalam kondisi yang sama yakni sama-sama telanjang. Faktor lingkungan lah yang menentukan kehidupan dia selanjutnya. Untuk yang terlahir dilingkungan yang serba berkecukupan tentunya diberikan serba kemudahan baik ketika dia lahir maupun kelak ketika dia dewasa. Berbeda dengan yang hidup serba kekurangan. Ketika  terlahir pun terkadang harus dilewati dengan penuh kesulitan. Mulai dari ditolak rumah sakit karena orang tuanya tidak ada biaya sampai akhirnya lari ke dukun beranak karena sudah tidak tahu harus kemana lagi untuk melahirkan. Dalam hal ini sebetulnya pemerintah telah memberikan solusi bagi orang yang tergolong tidak mampu dengan program kartu gakinnya. Akan tetapi pada prakteknya masih banyak sekali kita jumpai dilapangan yang ternyata program tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tetap aja si miskin sangat sulit sekali mendapatkan apa yang disebut dengan jaminan kesehatan. Boro-boro mikirin kesehatan untuk mencari makan saja sulit. Sungguh sanagat tragis dimana kita hidup di sebuah negari yang dulu terkenal dengan zamrud katulistiwanya, gemah lipah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Yang mana sebuah negeri yang subur kaya akan hasil alam dan hasil buminya serta aman tenteram dan damai. Itu dulu. Kalo sekarang.......ya anda sendirilah yang menilainya. Itu seh penilaian saya.
Di masa hidup yang amat sulit ini, kebahagiaan tentunya menjadi dambaan setiap orang baik si kaya maupun si miskin. Dan masing-masing tentunya berbeda dalam memaknai setiap kebahagiaan yang didapat. Contohnya : si kaya tentunya dengan materi yang dia punya dia akan sangat bahagia jika dia mendapatkan apa yang dia inginkan sebuah mobil misalnya. Sementara si miskin dia juga akan sangat bahagia ketika makan dalam satu nampan bersama seluruh anggota keluarga karena makanan yang serba terbatas. Jika kita perhatikan contoh tadi dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya kebahagiaan yang didapat ada dua yakni karena harta (si kaya) dan karena keluarga (si miskin). Ini menurut pendapat saya secara garis umum. Untuk itu dengan masing2 kelebihan dan kekurangan yang ada, akan sangat indahnya jika kita saling berbagi kebahagiaan. Si kaya dengan hartanya membantu si miskin, yang mana dalam agama disebut zakat dan sedekah. Sementara si miskin dengan rasa kekeluargaannya membantu si kaya menghibur ketika sedang dalam kesusahan. Hidup ini sungguh nikmat jika kita bisa saling berbagi. Hidup ini juga indah jika kita saling mengasihi. Dan hidup menjadi berarti jika dari berbagi membuat bahagia satu sama lain. Maka, marilah saling berbagi kebahagiaan demi indahnya hidup.

By RIDWAN
(Dibuat jam 21.00 WITA)

Sabtu, 08 Januari 2011

Biografi Amir Hamzah

Tengku Amir Hamzah merupakan sastrawan yang dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru. Amir Hamzah yang juga bergelar Gelar Pangeran Indra Pura, dilahirkan 28 Februari 1911 di Sumatera Timur, keturunan bangsawan Langkat Tengku Pangeran Muhammad Ali dan Tengku Mahjiwa.
 Biografi Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah kecil, menghabiskan pendidikan HIS dan belajar mengaji di belakang Masjid Azizi Langkat. Kemudian melanjutkan pendidikan MULO di Medan dan Batavia. Semenjak sekolah AMS jurusan Sastra Timur di Solo, kepenyairannya semakin terbentuk. Di kota solo, Amir Hamzah aktif dalam pergerakan kebangsaan menuju Indonesia Merdeka dan terpilih menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo pada Kongres Indonesia Muda pertama.
Selanjutnya Tengku Amir Hamzah pindah ke Batavia belajar ilmu hukum di Recht Hoge School sampai tingkat kandidat. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru dan mengelolanya, hingga pecah perang dunia kedua.
Keaktifan Amir Hamzah dalam berorganisasi dan kedekatannya dengan kaum pergerakan, membuat Belanda pada waktu itu menjadi gusar. Belanda menyurati keluarganya di Langkat, kemudian oleh pembesar Langkat menjemput Amir Hamzah pulang. Di Langkat beliau dinikahkan dengan seorang putri bangsawan istana, bernama Tengku Kamaliah, kemudian dinobatkan bergelar Pangeran. Dari pernikahannya, Tengku Amir Hamzah memperoleh seorang anak yang diberi nama Tengku Tahura Alautiah.
Pada 29 Oktober 1945 Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Belum setahun menjabat, Amir Hamzah ditangkap oleh kelompok front rakyat ketika sedang bergejolak revolusi sosial di Sumatera Timur.
Amir Hamzah dibawa ke Kwala Begumit untuk menghadapi pengadilan kilat ala hukum rimba (hukum pancung) pada 20 Maret 1946. Amir Hamzah pergi menghadap sang Khalik dalam usia 35 tahun. Jenazahnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kwala Begumit, lalu dimakamkan secara layak di kompleks pemakaman Masjid Azizi Tanjung Pura.
Pepatah mengatakan, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Peristiwa tragis yang dialami Amir Hamzah tidak meninggalkan aib baginya. Atas usulan masyarakat, karena telah mengembangkan kebudayaan, khususnya kesusastraan, Amir Hamzah akhirnya ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional sejak 10 November 1975 berdasarkan SK Presiden No.106/TK Tahun 1975. Selain itu, namanya juga dipakai sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di kedutaan besar RI di Kuala Lumpur Malaysia.
Selama hidupnya, Amir Hamzah telah menghasilkan sekitar 160 karya berupa 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya yang terkenal terkumpul dalam antologi Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937). Selain itu, ia menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari negara tetangga seperti Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lain dalam antologi Setanggi Timur (1939) dan terjemahan Bhagawat Gita yang dipetik dari Mahabarata berisi dialog antara Kresyna dan Arjuna.
Sumber berita: analisadaily.com

Biografi Khalil Gibran (1883-1931)

khalil gibran Biografi Khalil Gibran (1883 1931)
Khalil Gibran was born in Bechari (Bsharri), Lebanon, a mountain village of Maronite Christians. A talented child, he was modelling, drawing, and writing at an early age. Gibran’s mother took her children to the United States, but their father remained in Lebanon.
The family settled first in Boston, then in New York. Gibran returned to Lebanon in 1897 for two years to study Arabic literature in Beirut at al-Hikma College. Gibran’s artistic talents was recognized early and he was introduced to F. Holland Day, a photographer, who tutored him in art and literature. Through Day Gibran was given entrée to Boston society, where he acquired valuable contacts. Gibran’s mother died when he was 20. His sister supported him while he established himself as a writer and painter. Gibran’s most ardent benefactress was Mary Haskell, the headmistress of a progressive girl’s school in Cambridge. She supported her protégé financially for most of his career.
In 1904 Gibran had his first art exhibition in Boston. His first book, AL-MUSIQA (1905) was about music. It was followed by two collections of short stories and a novelette in 1912. From 1908 to 1910 he studied art in Paris with August Rodin. In 1912 he settled in New York, where he devoted himself to writing and painting. Though concerned with the transcendental in his books, the basic subject in Gibran’s art was naked human bodies, tenderly intertwined .
Gibran’s early works were written in Arabic and are considered central to the development of modern Arabic literature. Gibran also wrote for journals published by the Lebanese and Arab communities in the U.S. From 1918 he wrote mostly in English and managed to revolutionize the language of poetry in the 1920s and 1930s. His first book for the publishing company Alfred Knopf was THE MADMAN (1918), a slim volume of aphorisms and parables written in biblical cadence somewhere between poetry and prose.
Usually Gibran used prophetic tone to condemn the evils that torment his homeland or threaten the humankind. His style, a combination of beauty and spirituality, became known as ‘Gibranism’. “I am a stranger to myself. I hear my tongue speak, but my ears find that voice strange. I may see my hidden self laughing, crying, defiant frightened, and thus does my being become enamored of my being and thus my soul begs my soul for explanation. But I remain unknown, hidden, shrouded in fog, veiled in silence.” (from ‘The Poet’)
In 1920 he founded a society for Arab writers called “Aribitah” (the pen bond), and supported the struggle to revolutionize the classically conservative Arabic literature. A very important channel for new ideas was Al Magar, the first New York Arabic newspaper, that Gibran wrote for. Other influential writers included Mikha’il Nu’aima (1889-1988), Iliya Abu Madi (1889-1957), Nasib Arida (1887-1946), Nadra Haddad (1881-1950), and Ilyas Abu Sabaka (1903-47). Especially Mikha’il Nu’aima’s critical writings paved way to new freedom in poetic expression. Although Gibran was not a great poetry in verse, and most of his writings in prose should not be regarded as ‘poetry’, he opened doors to a new kind of creativity. Salma Khadra Jayyusi wrote in 1987 that Gibran’s rhythm “fell on ears like magic, intoxicating in its frequent use of interrogations, repetitions, and the vocative; by a language which was at once modern, elegant, and original; and by an imagery that was evocative and imbued with a healthy measure of emotion. His vision of a world made sterile by dead mores and conventions but redeemable through love, good will, and constructive action deepened his readers’ insights en enlightened their views of life and man.”
Gibran died of liver disease, possibly accelerated by alcoholism, in New York on April 10, 1931. Upon his death, his body was shipped back to his hometown in Lebanon, where alongside his tomb The Gibran Museum was later established. In his will Gibran left all the royalties of his books to his native village.
“When the souls rise in the
light of their joy, my soul ascends glorified by the
dark of grief.
I am like you, Night! And when my morn comes, then
my time will end.”

Gibran’s best-known work is THE PROPHET, a partly autobiographical book of 26 poetic essays, which has been translated into over 20 languages. The Prophet, who has lived in a foreign city 12 years, is about to board a ship that will take him home. He is stopped by a group of people, whom he teaches the mysteries of life. The resulting 26 sermons are meant to emancipate the listeners. In the 1960s The Prophet became a counterculture guide and in the 1980s the message of spiritualism overcoming material success was adopted by Yuppies. Critics have not treated the book well. Its mystical poetry is frequently read at weddings even today. Among Gibran’s other popular books is THE EARTH GODS (1931), a dialogue in free verse between three titans on the human destiny.